Show Up

Rabu, 20 Oktober 2010

Berinvestasi Pada Tubuh Cantik


“Hand and body lotion ............. Kulit cantik dan putih seperti wanita Jepang!” atau “Saat ku tahu rambutku rontok, kutahu aku tak berinvestasi dengan benar.” Itulah salah satu penggalan kalimat persuasif salah satu iklan produk kecantikan kulit dan rambut untuk perempuan di televisi-televisi nasional. Pada iklan-iklan itu ditampilkan model cantik berkulit putih mulus, langsing, serta berambut lurus dan panjang. Banyak perempuan Indonesia yang kemudian menginginkan bahkan mendambakan kecantikan seperti model cantik itu dan akhirnya membeli produk-produk kecantikan yang ditawarkan iklan-iklan tersebut. Padahal, para model iklan itu memang sudah cantik dari “orok” alias memang pada dasarnya sudah cantik. Tanpa atribut-atribut kosmetik pun mereka akan tetap terlihat cantik bahkan saat bangun tidur dengan “iler” pun mungkin masih tetap terlihat cantik.
Seperti apa sih konstruksi cantik menurut masyarakat sekarang? Apakah seperti Luna Maya, Sandra Dewi, Julia Robert, atau bahkan seperti Maria Ozawa (Miyabi)? Yah, memang saat kita mendengar kata cantik, wanita-wanita seperti mereka itulah yang ada di dalam pikiran kita. Bagaimana dengan R. A. Kartini, Cut Nyak Dien, Siti Aisyah (istri Nabi Muhammad SAW), atau perempuan-perempuan yang telah mengukir sejarah lainnya? Tidakkah para pahlawan kaum perempuan itu cantik juga? Mengapa mereka tidak ada dalam konstruksi cantik pikiran orang-orang zaman sekarang bahkan para perempuan Indonesia sendiri? Apakah kiblat “cantik” sudah berubah arah?
Dapat dikatakan, masa-masa pahlawan perempuan tersebut sudah lewat. Perjuangan mereka kini hanyalah tinggal dalam catatan sejarah saja. Media yang mempublikasikan mereka juga sudah tidak ada lagi. Media-media kepopuleran mereka merupakan “perjuangan” mereka itu sendiri. Menurut Muzayin Nazarudin, konstruksi kepahlawanan adalah historis, mengikuti “agama” dari suatu masa historis tertentu. Jadi ketika media massa, khususnya televisi, menjadi “agama” resmi masyarakat pasca industri sekarang ini (Gerbner dalam Rakhmat,1991), pendefinisian pahlawan pun mengikuti konstruksi yang dibangun televisi. Konstruksi “pahlawan” wanita itu sudah pasti cantik. Jadi, ketika kita ingin cantik, berkiblatlah dari televisi yang menjadi agama resmi masyarakat di era globalisasi media ini.
“Rambutnya ikal tergerai sayang… Membikin hati pemuda. Terkenang slalu padanya...” Masih ingat petikan lagu melayu Indonesia tahun 80an karya Mashabi itu? Mungkin sebagian dari kita masih kecil atau bahkan belum lahir. Namun sebagai pengetahuan untuk anda, itulah sebagian konstruksi “cantik” Indonesia zaman itu di mata para pria dan masyarakat luas.
Dahulu, Da Vinci juga pernah melukis sosok perempuan cantik dalam lukisannya yang sangat fenomenal sampai sekarang. Lukisan itu diberi nama Monalisa. Monalisa adalah wanita cantik yang identik dengan kesuburan dan gemuk, namun itulah gambaran cantik di Eropa zaman pencerahan. Kemudian pasti bukan pula konsep cantik dengan kulit putih dan mulus serta rambut panjang dan lurus yang dikenal di belahan bumi Afrika.
Tentu saja di era sekarang, sudah tidak ada space lagi bagi konsep-konsep cantik masing-masing budaya yang berbeda tersebut. Hal itu karena konsep cantik mereka tidak sama dengan konsep cantik di media massa yang selalu digambarkan seperti para seleb-seleb sekelas Mulan Jamila, Nadine Chandrawinata, Nabila Syakieb, atau para selebriti dari barat seperti Angelina Jolie, Beyonce, Paris Hilton, Jenifer Lopez, dan masih banyak lagi.
Terlepas dari sosok cantik yang menjadi idola, tentu anda sangat familiar dengan slogan dua iklan pada petikan diawal pembicaraan kita ini. Pada slogan pertama saja sudah dapat diartikan bahwa kulit perempuan Indonesia yang “sawo matang” itu tidak cantik dan yang cantik adalah kulit seperti wanita Jepang. Jika kita memakai produk lotionnya, maka kita akan cantik seperti wanita Jepang. Kulit asli bangsa kita yang “sawo matang” ini akhirnya dipaksa untuk mengikuti bangsa Jepang agar menjadi cantik seperti konstruksi mereka. Banyak dari kaum perempuan Indonesia yang akhirnya memaksa kulit mereka agar menjadi cantik dan putih seperti wanita Jepang karena konstruksi cantik di dalam pikiran sebagian besar masyarakat juga telah terpengaruh terpaan bertubi-tubi dari iklan itu.
Tidak kalah menarik dan lucu pula slogan iklan kedua. Perempuan diajak berinvestasi pada rambutnya. Rambut yang notabene adalah bagian tubuh seorang perempuan diartikan iklan tersebut sebagai alat terpenting seorang wanita untuk berinvestasi. Iklan tersebut menanamkan dalam konstruksi perempuan bahwa rambut yang indah adalah modal utama seorang wanita. Sehingga ketika rambutnya rontok, maka selama itu ia salah dalam berinvestasi. Jika anda seorang perempuan, coba saja renungkan lebih dalam lagi slogan itu! Apakah anda tidak merasa tersinggung karena modal perempuan hanya dimaknai sampai pada bagian tubuh saja? Bagaimana dengan kemampuan-kemampuan dan skill lain yang dimiliki oleh perempuan? Tidakkah itu investasi yang lebih utama? Masih banyak iklan-iklan dan tayangan-tayangan yang melakukan penjajahan dengan mengkomersilkan tubuh perempuan dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Sering pula kita lihat model cantik “berseliweran” pada tayangan-tayangan sinetron di televisi dengan angle kamera tepat mengarah pada sisi-sisi cantik sang model atau bintang sinetron tersebut. Kamera selalu menyorot betapa putih, mulus, serta langsingnya tubuh sang bintang sinetron dan betapa cantiknya wajahnya. Mengapa demikian? Karena itulah yang akan mereka jual kepada pemirsanya. Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, kecantikan dalam konstruksi baru itulah yang dipuja kaum Adam dan yang diidolakan kaum Hawa. Bagi para wanita, dia akan berusaha menjadi seperti idolanya agar juga dipuja para pria. Sebuah pengakuan “cantik” dari banyak orang, terutama para pria, adalah sebuah penghargaan yang luar biasa. Itulah hasil pengajaran media massa.
Menurut Adorno dan Horkheimer, media memperlakukan audien sebagai bagian dari massa dan memaksa audien untuk bertindak dan berpenampilan seperti yang ditampilkan oleh media. Intinya, media mengubah identitas asli diri audien menjadi diri orang lain dengan membuat audien tidak puas dengan keadaan diri audien. Dalam hal ini, media telah menciptakan budaya massa dengan mendorong orang-orang dengan budaya dan cara pandang berbeda kepada budaya dan cara pandang yang diciptakan media. Dengan kata lain, media telah menciptakan budaya dan cara pandang masyarakat tentang “cantik” sesuai yang diinginkannya.
Salahkah jika kita adalah bagian dari pemuja dan pengguna produk-produk budaya yang dibentuk media tersebut? Pertanyaan bukan pada benar atau salah, tetapi pada situasi dan kondisi yang melatarbelakangi adanya pemujaan itu.
§  Pertama, zaman memang sudah berubah dan teknologi sudah semakin maju. Sebagai manusia kita tidak bisa membendung itu semua, namun yang kita bisa hanyalah memanfaatkan perkembangan teknologi itu secara baik sesuai dengan keperluan dan bukan sesuai keinginan, termasuk dalam mempergunakan media massa.
§  Kedua, suatu kebudayaan memang tidak akan pernah bisa dilestarikan. Suatu saat kebudayaan lama pasti akan tergerus dan berganti dengan kebudayaan baru karena tekanan dari arus globalisasi komunikasi dan informasi. Bahkan mungkin suatu saat nanti kecantikan yang anda agung-agungkan sekarang sudah tidak akan dikatakan “cantik” lagi oleh orang-orang di masa depan karena konstruksi “cantik” menurut mereka sudah berbeda lagi.
W
Writer: Farhanah
Photo by: www.bocahiseng.blogspot.com
               www.rujakmanis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar